Hari-hari belakangan ini, penggalangan massa untuk menggerakkan demonstrasi kembali menjadi tren sebagai sarana menyuarakan suara ‘keadilan’ versi mereka. Keberhasilan suatu gerakan untuk menggulingkan pemerintahan di negara tertentu bisa menginspirasi gerakan melawan pemerintah di negeri-negeri lain.
Tulisan ini tidak sedang mendudukkan sejauh mana pelanggaran syariat dalam penggerakan massa tersebut yang sering kali menyeret timbulnya kemaksiatan yang tidak bisa dibilang sedikit, akan tetapi ingin mengingatkan kembali akan sebuah musibah besar yang terjadi di salah satu nama tempat demonstrasi yang mencuat dalam media massa. Tahrir Square (Lapangan Tahrir) yang terletak di kota Kairo, Mesir
Nama Tahrir Square (Lapangan Tahrir), berasal dari bahasa Arab yaitu harrara, yuharirru, tahriran, yang bermakna kebebasan. Sehingga Tahrir Square berarti lapangan kebebasan. Itulah makna harfiah dari nama lapangan tersebut.
Asal-muasal penamaan ini terkait dengan apa yang dilakukan oleh seorang Muslimah dari Mesir yang bernama Huda Sya’rawi yang meninggal pada tahun 1367 H. Pengaruh barat pada orang-orang yang belajar di sana menular pada masyarakat Islam, termasuk orang ini. Kebebasan wanita yang didengungkan Barat pun memperdayai sebagian kaum muslimah. Sebuah kebebasan yang sebenarnya justru menjerembabkan kaum wanita pada jurang kehinaan dan kenistaan, jauh dari kehormatan yang terjaga.
Pada tahun 1337 H, gerakan wanita menyuarakan kebebasan wanita bermula di Mesir di bawah komando seorang wanita bernama Huda Sya’rawi. Pertemuan pertama mereka lakukan di Gereja Markus di Mesir tahun 1338 H. Wanita Mesir inilah yang pertama kali mencampakkan pakaian kehormatan Muslimah dari dirinya dalam sebuah kejadian yang sangat mencabik kemuliaan syariat dan kehormatan umat. Adalah Sa’ad Zaghlul ketika kembali dari Inggris dengan membawa segala perangkat untuk merusak Islam, dua rombongan menyambut kedatangannya, rombongan lelaki dan rombongan wanita. Begitu turun dari pesawat, ia berjalan menuju rombongan kaum wanita yang tampak mutahajjibat (mengenakan busana Muslimah sesuai tuntunan syariat yang tidak mempertontonkan daya tarik wanita kepada khalayak). Huda Sya’rawi dengan hangat menyambutnya dengan busana Muslimahnya, agar Sa’ad berkenan melepaskannya -wal iyyadubillah-. Selanjutnya, Sa’ad melepaskan hijab wanita tersebut. Kemudian terdengarlah tepuk tangan dari hadirin dan serempak kaum Muslimah yang ada, melepaskan hijab mereka masing-masing.
Kejadian kedua yang tidak kalah menyedihkan adalah seorang Muslimah bernama Shafiyah binti Musthafa, istri Sa’ad Zaghlul, -semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang setimpal- ia berada di tengah demonstran wanita di depan Istana Nil. Bersama-sama wanita lain, ia melepaskan hijab (jilbab) dan menginjak-injaknya untuk kemudian mereka bakar. Tempat pemberontakan mereka terhadap hukum Allah Subhaanahu wa Ta’ala itu, kemudian dikenal dengan Maidanut Tahrir, lapangan untuk membebaskan diri mereka.
Tempat ini menjadi saksi penistaan yang mereka lakukan terhadap agama ini. Kaki dantangan mereka akan memberikan persaksian atas perbuatan mereka, saat mulut terkunci. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin/36: 65)
Pemberontakan wanita-wanita itu kepada Allah dan RasulNya kemudian diikuti oleh banyak negara yang sudah terpengaruh oleh pemikiran Barat dengan melarang kaum Muslimah mengenakan pakaian kehormatannya. Sebuah musibah bagi umat Islam layaknya api yang menyambar rerumputan kering. Sebut saja, Turki, Tunisia, Albania, Afganistan, Iraq, dan negeri-negeri Syam (Yordania, Lebanon, Palestina, dan Suria).
Sayangnya, mereka yang merasa bebas itu, pada hakikatnya telah terjerat oleh setan dan nafsu syahwat, dan pelanggaran kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Mereka lebih suka diatur dan diperbudak oleh bisik rayu setan dan kaum kafir ketimbang mendengarkan dan mentaati Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Padahal, di bawah naungan Islam, kaum wanita terpelihara hak dan kehormatannya. Slogan tahrirul mar’ah (kebebasan wanita) dan al-musawaah ( persamaan gender) cukup ampuh dalam menyeret sebagian wanita Muslimah untuk mengesampingkan aturan Allah Subhaanahu wa Ta’ala bagi mereka. Kedua slogan ini terus dikumandangkan dalam segenap lapisan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai media massa. Siapa yang lalai, dia akan terseret dan termakan syubhat yang telah dikemas rapi. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada menjaga diri dan keluarga kita agar tidak mudah terpedaya.
Orang-orang yang memiliki tanggung jawab terhadap wanita seperti bapak, saudara atau suami hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam mengurusi dan menjaga wanita yang menjadi tanggung jawabnya. Mestinya mereka tahu sarana-sarana yang biasa dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menyebar racunnya sehingga bisa diantisipasi sedini mungkin. Kelalaian terhadap hal ini bisa berakibat fatal. Betapa banyak orang dengan tanpa disadari telah menjerumuskan orang yang dicintainya ke lembah nista dengan dalih sayang.
Namun kesungguh-sungguhan pihak yang betanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya terhadap kaaum wanita tidak akan bisa berhasil baik tanpa dukungan dari wanita itu aendiri. Oleh karenanya, kaum wanita juga hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam segala hal. Bertakwa dalam ucapannya, diamnya dan gerakannya.
Akhirnya, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala menganugerahkan petunjukNya kepada seluruh umat Islam agar tidak mudah terpedaya dan agar istiqomah di jalanNya.
Diangkat dari Haraasatul Fadhilah, Syaikh DR. Bakr Abu Zaid hlm. 140-143 melalui majalah As-Sunnah edisi 11/thn XIV/Rabiul Tsani 1432 H/Maret 2011 M
http://kampungsalaf.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar