counters

18/05/12

BID’AH-BID"AH DI BULAN SYA’BAN 1433 H


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Saat ini kita sedang menghadapi bulan Romadhon dan sebelum Romadhon, adalah bulan Sya’ban. Kata “Sya’ban” secara bahasa (Arab) bisa berasal dari dua kata, yaitu dari kata: Syi’bun – Sya’ban – artinya (menurut para ulama), orang-orang Arab zaman Jahiliyah dahulu pada bulan-bulan tersebut mereka mencari tempat-tempat dimana terdapat mata air. Kita tahu, negara Arab tanahnya kering, tandus, tidak sembarang tempat ada air.
Bulan berikutnya, yaitu bulan Romadhon. Disebut “Romadhon”  (artinya panas terik) dan ternyata hari-hari (saat) ini panasnya di Makkah mencapai 55’ Celsius. Maka orang-orang yang hendak melaksanakan shaum pada bulan depan ini (Romadhon) benar-benar membutuhkan stamina. Zaman dahulu pun demikian juga, panas udara meningkat. Memasuki bulan Romadhon udaranya sangat panas. Orang-orang Arab dari kabilah masing-masing mengutus beberapa orang untuk mencari dimana terdapat sumber air (mata air). Sumber mata-air bisanya berada pada kawasan dimana tumbuh rumput-rumput atau pohon-pohon lainnya. Utusan itu disebut:Syi’abun (pencari air).  Syi’ab artinya lembah (oase).
Penghidupan orang-orang zaman dahulu di Jazirah Arab selalu berpindah-pindah, dimana ada air disitu mereka menjalani hidupnya dan bila air sudah habis mereka berpindah lagi ketempat lain yang ada sumber airnya.
Kedua, Sya’b bermakna nama bulan antara Rojab dan Romadhon, lalu bulan itu disebut dengan:Sya’ban.
Yang menjadi bahasan kali ini adalah perkara-perkara ibadah yang muncul belakangan, yaitu apa yang disebut dengan perayaan (peringatan) malam Nisfu Sya’ban.
Sebenarnya dalam bulan Sya’ban itu penuh berbagai perkara antara lain adalah Shaum (puasa) dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم begitu memasuki bulan Sya’ban melakukan shaum (sunnat) dan sedikit sekali hari yang beliau tidak melakukan shaum.
Tetapi bahasan kali ini hanya satu perkara saja, yaitu kecenderungan sebagian kaum muslimin pada akhir-akhir zaman ini yang menganggap ibadah jika mereka telah ikut meramaikan malam Nisfu Sya’ban.
Malam Nisfu Sya’ban artinya: Pertengahan Sya’ban; yaitu tanggal 13, 14 dan 15 Sya’ban. Bukan tanggal 14, 15 dan 16 Sya’ban; karena hitungan penanggalan Qomariyah  menurut Rosuululloohصلى الله عليه وسلم adalah berjumlah 29 hari. Beliau bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ
Satu bulan itu duapuluh sembilan hari” (HR. Imam Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Umar رضي الله عنه)
Berarti tengah-tengahnya adalah tanggal 13, 14 dan 15.
Pada malam-malam itu sebagian kaum muslimin, atas dasar Taqlid (mengekor saja), atau atas dasar mengikut warisan leluhur mereka, atau mengikuti kebanyakan orang,   atau karena merasa tidak enak (nyaman) kalu tidak ikut-ikutan, dsbnya mereka lalu mengadakan semacam ritual ibadah. Dan puncak ibadahnya ialah tanggal 16 Sya’ban. Bahkan ada yang menganggap malam itu setara dengaan malam Lailatul Qadar.
Betapa diagungkannya malam Nisfu Sya’ban itu.
Oleh karena itu perlu disampaikan di sini bahwa ternyata peringatan malam Nisfu Sya’ban sama sekali bukan ajaran dari Nabi Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Ada empat point yang perlu disampaikan di bawah ini, yaitu :
  1. Kita adalah Manhaj  Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  2. Bahwa Islam sudah lengkap, sempurna.
  3. Bahwa menentukan waktu dalam beribadah harus dengan Dalil,
  4. Beberapa perkataan para ‘Ulama tentang penentuan Nisfu Sya’ban.
Penjelasan.
Pertama, Kita adalah Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Bila kita kembali kepada Firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yaitu :
  1. 1. Surat An Nisaa’ ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allooh dan taatilah Rosuul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, makakembalikanlah ia kepada Allooh (Al Qur’an) dan Rosuul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allooh dan hari Akhirat. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Maksudnya, kepada kita semua (orang beriman) diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى agar kita selalu taat akan perintah Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya. Yang dimaksud Rosuul disini adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan kepada Ulil Amri, yakni orang yang bertanggungjawab atas kita atau pemimpin kita.
Jika terjadi tanaazu’ (perbedaan pendapat, perselisihan tentang apa saja, termasuk urusan dunia dan agama) kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمArtinya, kalau ada dalam Al Qur’an dan ada dalam ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,  tidak boleh dibantah.Kalau tidak ada dalam keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) janganlah diyakini dan jangan diamalkan. Jika kita beriman kepada Allooh dan Hari Akhir.
Jadi orang yang berani mengorbankan perasaannya (perasaan tidak enak, dsbnya) dan harga dirinya untuk men-Tahkiim (berhukum) kepada Allooh dan Rosuul-Nya, itulah orang yang beriman kepada Allooh dan hari Akhir. Mengapa orang tidak mau kembali kepada Allooh dan Rosuul-Nya? Karena mereka memang belum beriman. Sulit untuk mengajaknya, karena Iman adalah Hidayah dari Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kalau kamu kembalikan kepada Allooh dan Rosuul-nya, itu adalah kebaikan. Itulah sebaik-baik kalian mengembalikan perkara”.
  1. 2. Surat Asyuuroo ayat 10 :
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (10
“Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allooh.(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allooh Tuhanku. Kepada-Nya-lah aku bertawakkul dan kepada-Nya-lah aku kembali.
Maksudnya, bila kamu berselisih dalam salah satu bagian dari suatu permasalahan, maka tetap hukum kalian adalah ada pada keputusan Allooh سبحانه وتعالى. Begitulah Allooh mengajari kita. Bila kita mempunyai sesuatu masalah, kembali rujukannya kepada apa yang bersumber dari Allooh سبحانه وتعالى. Kalau tidak ada sumbernya dari Allooh jangan lalu mengada-ada. Itulah manhaj(pedoman) kita.
  1. 3. Surat An Nisaa’ ayat 65 :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Maksudnya, bila diantara kita berselisih, berbeda pendapat, bertengkar maka kembalikan kepada hukum (penetapnya), yaitu Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan setelah diputuskan oleh Rosuulullooh, lalu tidak ada rasa keberatan, dan mereka menyerahkan keputusannya kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Tiga ayat Al Qur’an tersebut diatas menjadi dasar bagi kita untuk menjadikan keyakinan kita bahwa apabila diantara kita berbeda pendapat (tentang sesuatu) maka kembalikanlah perkara itu kepada Allooh dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sunnah ada dua macam. Ada yang maqbul dan ada yang maudhuu’ (palsu).
Sunnah (Hadits) yang makbul adalah :
  1. Muttawatir,
  2. Shohiih,
  3. Hasan
Maka bila mendengar ada Sunnah (Hadits) Rosuul, lihat dulu titel dari Sunnah Rosuul itu. Bila dikatakan Hadits Muttawatir, berarti kita tidak boleh ragu-ragu lagi, harus yakin dan percaya. Demikian pula bila dikatakan bahwa sesuatu Hadits itu Shohiih, maka harus kita terima.Termasuk Hadits Hasan-pun adalah makbul.
Hadits-hadits yang titelnya seperti berikut di bawah ini jangan lah diterima, yaitu :
  1. Hadits Dho’iif (lemah),
  2. Hadits Maudhuu’ (palsu).
Hadits Dho’iif (lemah) ada dua yaitu:  Dho’iif Munjabir dan Ghoiru Munjabir.
Hadits Dho’iif  Munjabir adalah Hadits lemah tetapi masih bisa diperkuat (didorong), syaratnya: tidak sangat lemah dan pendukungnya sama lemahnya atau lebih kuat. Namanya menjadi Hadits Hasan. Ini perlu penelitian, tidak mudah. Dan yang tahu timbangannya adalah para Ahli Hadits.
Hadits Ghoiru Munjabir adalah Hadits lemah tetapi tidak bisa dikatrol, tidak bisa diperkuat, tidak bisa menjadi Hadits Hasan. Tetapi bila Hadits sudah berjudul Dho’iiftidak boleh dipakai sebagai dasar.
Apalagi Hadits Maudhuu’ sama sekali tidak boleh dipakai, dibuang saja. Bahkan kata para Ulama: meriwayatkan Hadits yang statusnya Maudhuu’ adalah dosa besar. Dan menjadi anggota komunitas orang yang memalsu Hadits atas nama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maka ia termasuk pendusta.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang berdusta atas nama aku (Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) maka bersiaplah ia bertempat duduk di neraka”. (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه )
Keduakita harus yakin benar bahwa Islam sudah sempurna, lengkap.
Tidak boleh ditambah atau dikurangi. Meskipun ada orang mengatakan bahwa tambahannya itu baik, untuk mencari pahala lebih banyak lagi.
Menurut kata para ‘Ulama: “Berapa banyak orang yang menghendaki baik tetapi mereka tidak mencapai kebaikan itu.”
Ukuran baik adalah pada Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau tidak ada pada Al Qur’an dan As Sunnah maka tidak disebut baik, walau pun menurut manusia itu baik. Meski pun menurut manusia jelek, tetapi menurut Al Qur’an dan As Sunnah sesuatu itu baik, maka ia adalah baik.
Demikian itu harus menjadi aqidah dalam diri kita. Bahwa segala sesuatu timbangannya (ukurannya) adalah Firman Allooh dan Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Islam sudah sempurna, tidak perlu ditambah atau dikurangi dan tidak perlu dipoles serta tidak perlu dihias !
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Aku ridhoi Islam itu menjadi agama bagimu”
Maka kalau Allooh سبحانه وتعالى mengatakan sudah sempurna, siapa lagi yang akan mengatakan kurang?  Bila orang mengatakan “kurang” terhadap sesuatu yang sudah Allooh nyatakan sempurna, maka kufurlah ia, keluar dari Islam, murtad.
Ditambah lagi dalam ayat tersebut, digunakan kata: Atmamtu. Tamam artinya lengkap, sempurna. Itulah Islam.
Firman Allooh سبحانه وتعالى:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21
Artinya:
“Apakah mereka punya sekutu, lalu sekutu-sekutu itu membuat Syari’ah, membuat hukum, membuat ajaran, bagi mereka tentang Din ini? Padahal itu tidak pernah Allooh idzinkan?”(QS Asy Syuuroo ayat 21)
Maksudnya, kalau membuat suatu ajaran, mencetuskan sesuatu perkara yang baru  dan itu dianggap merupakan bagian dari Din, maka seolah-olah mereka telah menganggap ada sekutu selain Allooh سبحانه وتعالى sebagai tandingan-tandingan yang juga sama perannya dalam menentukan suatu kebijakan dan hukum. Yang demikian adalah syirik. Sebab penentu hukumhanyalah satu: Allooh سبحانه وتعالى.
Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhoory dan Imam Muslim, dari ‘Aisyah رضي الله عنها, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu yang baru dalam perkara kami dan itu tidak pernah ada dalam ajaran kami maka perkara itu tertolak” (Muttafaqun ‘alaihi).
Jadi walaupun semarak, syahdu, lezat, khusyu’, khidmat sampai mengeluarkan air mata atau membuat terharu sekali pun, tetapi ternyata  itu tidak ada dasar/ dalilnya dalam pandangan Syari’at Muhammad صلى الله عليه وسلم  maka amalan itu tetap tertolak, karena memang tidak ada ajarannya/ tidak ada contohnya dari Rosuul.
Maka janganlah sekali-kali mengukur baik dan buruk, benar atau salah, dengan melalui perasaan semata, seolah-olah itu suatu kebenaran padahal itu bukan kebenaran.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya:
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah dari Kitabullah (Al Qur’an),sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad صلى الله عليه وسلم dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap yang baru adalah sesat dan setiap yang sesat adalah masuk neraka” (HR. Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه).
Maksud hati ingin berbuat baik, ternyata sesat. Berarti rugi. Maka sebelum merugi, kendalikan hati, jangan beribadah itu karena perasaan enak atau tidak enak.
Ketiga, beribadah dengan mengkhususkan waktu tertentu,  harus dengaan Dalil yang Shohiih.
Misalnya ibadah tertentu pada malam Jum’at Kliwon, mengapa memilih hari itu? Harus ada Dalil-nya. Menentukan waktu dan tempat tertentu untuk beribadah itu harus berdasarkan Dalil. Tidak ada dalilnya maka berarti Bid’ah.
Di dalam Hadits Shohiih riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Artinya:
“Jangan kalian khususkan malam Jum’at dengan melakukan Qiyam dibanding dengan malam-malam yang lain dan jangan kalian khususkan hari Jum’at-nya  dengan shaum, sedangkan hari lain tidak, kecuali dia dalam suatu shaum yang selalu salah satu dari kalian melakukannya. ”.
Maksudnya, mengkhususkan bangun malam Jum’at untuk sholat Tahajud atau Tarawih, sedangkan malam lain tidak, itu dilarang oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Demikian pula shaum, bila dikhususkan pada hari Jum’at, sedangkan di hari lain tidak; mengkhususkan yang seperti itu pun dilarang Rosuul.
“Kecuali  shaum yang dari salah satu dari kalian selalu melakukannya.” Maksudnya,
Misalkan terbiasa melaksanakan Shaum Nabi Dawud, yaitu sehari shaum, sehari buka, dan tepat hari Jum’at harus shaum karena memang hari itu giliran shaum, maka shaum di hari Jum’at yang seperti itu tidak lah mengapa. Karena yang demikian itu dikecualikan, dan itu bukan bermakna untuk mengkhususkan pada hari Jum’at.
Hari Jum’at adalah Sayyidul ayyaam (Penghulu semua hari). Tetapi itu pun tidak boleh dikhususkan untuk ibadah tertentu. Bagaimana pula dengan menentukan hari-hari yang lain yang tidak ada dalilnya tentang keutamaan malam tersebut?
Oleh karena itu kita akan temukan dengan pasti bahwa malam Nisfu Sya’ban tidak ada bedanya dengan malam-malam yang lain. Keyakinan bahwa Malam Nisfu Sya’ban mempunyai keutamaan tertentu, dalilnya lemah / palsu.
Ada beberapa pernyataan, misalnya Al Haafidz Ibnu Rojab Al Hanbaly dalam Kitabnya yang bernama Lathoiful Ma’aarif, beliau berkata: “Malam pertengahan Sya’ban (Nisfu Sya’ban), para Tabi’in dari para Ahlusy Syam (negeri Syam: sekarang Syria, Palestina, Yordania, Libanon) seperti: Khoolid bin Ma’dan, Maqhuul, Luqman bin ‘Aamir dll mengagungkan malam Nisfu Sya’ban. Mereka bersungguh-sungguh beribadah di malam itu dan dari mereka sunnah itu menjadi turun-temurun sampai kepada kita, dan dijadikan lah sebagai malam utama yang mereka agungkan”.
Itu dari Tabi’in, jadi bukan dalil. Jangankan Tabi’in, dari Shohabat sekali pun, bukan lah dalil, kecuali bila mereka (para Shohabat) sepakat maka menjadi dalil, yang namanya Ijma’.
Atau ada seorang Shohabat yang melakukan sesuatu dan tidak dilakukan oleh para Shohabat yang lainnya, tetapi para Shohabat yang lainnya tidak mengomentari perbuatan Shohabat itu; maka yang demikian pun disebut Ijma’. Namanya Ijma’un Sukuutiiyyun. Dan itu Hujjah.
Kata para ‘Ulama, jika ada satu pendapat dari Shohabat kemudian seorang Shohabat yang lain berpendapat yang melawan pendapat Shohabat tersebut, maka pertentangan itu tidak menyebabkan satu sama lain pendapatnya bisa dijadikan sebagai suatu Hujjah. Itu dari Shohabat, apalagi dari Tabi’in. Oleh karena itu, perbuatan Tabi’in bukanlah dalil.
Berikutnya: “Dasar mereka melakukan hal itu adalah peninggalan-peninggalan yang berasal dari Isro’iliyyah” (riwayat dari kalangan Bani Isro’il, kalangan Yahudi sebelum Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم diutus menjadi Rosuul). Dan itu bukan lah Hujjah.
“Lalu perbuatan mereka itu diingkari oleh kebanyakan para ‘Ulama Hijaaz (Mekkah dan Madinah dan segaris dengan itu), yaitu orang yang bernama ‘Atho’ Ibnu Mulaaikah dan Abdurrohman Ibnu Zaid Ibnu Aslam, dari para Fuqoha Ahli Madinah dan pernyataan bahwa yang demikian itu mungkar, adalah perkataan dari shohabat-shohabat Maalik bin Anas, Imam Madzhab Maaliki, dll. Bahkan semua mereka mengatakan: Pernyataan dan perbuatan yang dilakukan beberapa orang dari kalangan Tabi’in tersebut dihukumi sebagai Bid’ah. Tidak ada pernyataan dari Imam Ahmad tentang malam Nisfu Sya’ban”.
Perkataan Al Hafidz Ibnu Rojab selanjutnya: “Adanya suatu peribadatan di malam Nisfu Sya’ban tidak pernah ada yang yatsbut (Shohiih) berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahkan juga tidak ada dari para shohabat yang benar”.
Perkataan ‘Ulama bernama Al Imam Abu bakr Ath Thurtusy dalam Kitabnya yang bernama Al Hawadits Wal Bida’, beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhoh dari Zaid bin Aslam, beliau mengatakan:‘Kami tidak menemukan seorang  pun dari guru-guru kami para Fuqoha yang kami ketahui, mereka melirik kepada adanya ibadah pada pertengahan Sya’ban. Mereka juga tidak melirik kepada pernyataan Maqhul yang menyatakan adanya keutamaan dan mereka tidak memandang adanya keutamaan malam Nisfu Sya’ban dibanding dengan malam-malam lainnya.’ Dan dikatakan oleh Abi Mulaaikah bahwa Ziyaad An Numairi mengatakan bahwa pahala beribadah pada malam Nisfu Sya’ban seperti malam Lailatul Qodar. Wadhdhoh dari Zaid bin Aslam,beliau mengatakan: ‘Kalau saja ketika aku dengar Abi Mulaaikah mengatakan perkataan itu ada dihadapanku, akan aku pukul dia dengan tongkat’.”
Perkataan ‘Ulama yang lain, yaitu Imam Asy Syaukaany dalam Kitab beliau Al Fawaaid Al Majmuu’ah berkata, ada Hadits : “Ya Ali, siapa yang sholat seratus rokaat di malam pertengahan bulan Sya’ban (Nisfu Sya’ban), dia baca setiap roka’at dengan Al Fatihah dan sepuluh kali Qul huwalloohu ahad, kecuali dia akan dipenuhi semua kebutuhannya”.
Bayangkan, seratus rokaat dan setiap rokaat membaca Al Fatihah sekali dan 10 X Surat Al Ikhlash. Maka sholat tersebut: 100 rokaat X 10 Al Ikhlash, = 1000 X surat Al Ikhlash.  Maka sholat itu disebut sholat ‘Aaliyyah (Sholat Seribu Surat). Kata Imam Asy Syaukani, Haditstersebut Maudhuu’ (Palsu).
Hadits tersebut dusta dengan mengatas-namakan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Perawi-perawi Hadits tersebut tidak diketahui. Kata Imam Asy Syaukani: “Ada juga diriwayatkan dari jalan yang lain, tetapi semuanya palsu dan para perawinya tidak dikenal (bukan dari kalangan perawi Hadits)”.
Beliau Imam Asy Syaukani juga mengatakan dalam kitab yang lain yaitu Kitab AlMukhtashor, kata beliau: “Hadits yang mengatakan adanya sholat di malam Nisfu Sya’ban adalah bathil (tertolak). Hadits Ali tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, adalah Hadits Maudhuu’ (palsu). Kebanyakan dari jalan ketiga adalah para perawinya tidak dikenal dan orang-orang lemah. Ada yang mengatakan: Sholat dengan 12 rokaat, setiap rokaat membaca Al Fatihah dan membaca Surat Al Ikhlash 30 kali.  Ada yang mengatakan sholat 14 rokaat malam Nisfu Sya’ban, dengan bacaan-bacaan seperti disebutkan diatas, tetapi itu pun Haditnya Maudhuu’ (palsu).
KESIMPULANNYA:
Sholat di malam Nisfu Sya’ban Haditsnya Bathil dan Maudhuu’ (palsu). Semua Hadits nya palsu.
Al Imam Al Irooqy (bermadzhab Syafi’i), berkata: “Hadits tentang sholat pertengahan malam nisfu Sya’ban adalah Maudhuu’ (palsu) dan dusta atas nama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.”
Imam An Nawawi (bermadzhab Syafi’i) dalam Kitab beliau Al Majmuu’ beliau berkata:  “Sholat yang dikenal dengan Sholat Roghoib yaitu sholat 12 rokaat antara Maghrib dan Isya di awal bulan Rojab dan sholat pertengahan bulan Sya’ban seratus rokaat, dua sholat tersebut adalah sholat Bid’ah dan Munkar.
Dan kita tidak usah tergiur jika perkara itu (sholat pertengahan Sya’ban, Nisfu Sya’ban) meskipun sholat tersebut tertulis dalam Kitab Quuthul QuluubIhyaa ‘Uluumuddin, tulisan Imam Al Ghodzaali, karena semuanya itu tertolak.”
Demikian kata Imam An Nawawi.
Imam As Suyuuthi, (yang bermadzhab Imam Syafi’i), mengatakan: “Sholat di malam pertangahan bulan Sya’ban (Nisfu Sya’ban) adalah sholat panjang dan memberatkan yang tidak ada berita dari Rosuul, tidak ada dalil peninggalan dari Rosuul, bahkan ia adalah lemah. Orang-orang awam terfitnah (terkena ajaran padahal itu sebenarnya bukan ajaran) dengan perkara yang besar seperti itu. Ada yang menerangi masjid pada malam-malam itu, ada lagi kefasikan, kemaksiatan, bercampur laki-laki dan perempuan, banyak lagi fitnah dengan berbagai bentuk kemungkaran, yang itu tidak usah digambarkan”.
Imam Ibnush Sholaah, seorang ‘ulama ahli Hadits, beliau bermadzhab Syafi’i.  Kata beliau Ibnush Sholah: “Sholat Aaliyyah dilaksanakan pada malam pertengahan bulan Sya’ban itu tidak ada asalnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan juga sholat-sholat sejenisnya. Maka sungguh aneh dan saya heran atas gigihnya seseorang melaksanakan sesuatu yang Bid’ah dalam dua malam yaitu malam Rojab dan malam Sya’ban. Padahal mereka dalam mengamalkan perkara yang jelas-jelas nyata, shohiih dari Rosuul, mereka sangat kurang.Yang diajarkan kurang diamalkan, tetapi yang tidak diajarkan justru ditekuni. Itulah yang mengherankan dan aneh”.
Demikian kata beliau Imam Ibnush Sholah.
Tentang adanya hadits-hadits yang diyakini oleh beberapa orang tentang melakukan sholat di pertengahan Sya’ban dan shaum pada siang harinya; maka dipastikan itu tidak ada yang shohiih, bahkan palsu. Misalnya:  Ada Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al Asy’ari, Haditsnya lemah: “Allah memberikan pengampunan kepada orang-orang, semua makhluk Allooh dimalam pertengahan bulan Sya’ban kecuali orang itu musyrik atau bermusuhan”.
Berikutnya, juga Hadits yang lain (seperti disebutkan diatas): “Apabila pertengahan Sya’ban maka bangunlah di malam harinya dan shaumlah di siang harinya”. Hadits tersebut jugaDho’iif, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Maajah dan ternyata dikatakan oleh Imam Al Irooqy bahwa Hadits ini lemah.
Dari Ibnul ‘Aroobi, seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (yang dibahas ini bukan lah Ibnu ‘Aroobi  pencetus Aqidah Shufiyyah baathilah, yang meyakini Wihdatul Wujud, yang mana orang ini telah dikafirkan oleh para ‘ulama).
Ibnul ‘Arobi (yang kita bahas ini adalah) Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah berasal dari Yaman. Kata beliau: “Tidak ada satu Hadits pun tentang pertengahan bulan Sya’ban yang boleh (bisa) didengar, karena tidak ada yang shohiih”.
Beliau mengatakan lagi: “Tidak ada Hadits tentang malam pertengahan Sya’ban, yang boleh kita merujuk kepadanya,tidak dalam keutamaannya,tidak dalam pelajaran tentang diperpanjangnya umur.Oleh karena itu jangan kalian perhatikan bila ada hadits yang demikian itu”.
Dikatakan juga oleh Imam yang lain, Imam Abu Syaamah dalam kitab beliau bernama KitabAl Baa’is, beliau mengatakan: “Tidak ada Hadits berkenaan dengan malam pertengahan Sya’ban, yang shohiih”.
Dikatakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz, ulama masa kini, tetapi sekarang sudah wafat, bahwa: “Kalian sudah tahu dari perkataan para ‘ulama, tidak ada yang shohiih, tidak dari Rosuul maupun para Shohabat, sesuatu keutamaan malam Jum’at pertama bulan Rojab, juga tidak ada yang shohiih Hadits tentang keutamaan malam pertengahan Sya’ban. Maka dengan demikian, diketahui bahwa peringatan malam awal Jum’at di bulan Rojab, atau peringatan malam pertengahan Sya’ban adalah perbuatan Bid’ah, sesuatu yang baru dalam Islam.
Begitu pula pengkhususan ibadah apapun dalam malam-malam itu terhukumi Bid’ah yang munkar, demikian pula malam 27 Rojab yang diyakini oleh orang-orang bahwa itu adalah malam Isro’ wal Mi’roj. Tidak boleh mengkhususkan ibadah pada malam tersebut. Juga tidak boleh melakukan peringatan apa pun karena dalil-dalil yang berlalu, padahal kata ‘ulama tidak dikenal ajaran itu dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.Bahwa Isro’ wal Mi’roj itu terjadi pada tanggal 27 Rojab, pendapat itu adalah pendapat yang baathil, tidak mendasarkan pada Hadits-Hadits yang shohiih.” Demikian dinukil dari Kitab beliau Kitab Fataawaa.
Itulah perkara-perkara yang bukan urusan dunia, melainkan urusan ibadah, urusan Diin, yang semuanya harus tertumpu pada nash-nash yang shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan dari Al Qur’an. Seindah dan se-asyik apa pun, bila tidak ada landasannya dari Allooh dan Rosuul-Nya, maka tidak perlu kita tergiur (tergoda) untuk melakukannya.
Tanya-Jawab.
Pertanyaan:
  1. Ada do’a dalam bulan Sya’ban: “Alloohumma bariklanaa fii rojaba wa sya’ban wa balighnaa romadhoon” – Apakah itu do’a dari Rosuul atau dari siapa?
  2. Di pertengahan bulan Sya’ban (tanggal 13, 14 dan15) melakukan ibadah sebagaimana bulan-bulan yang lain, apakah itu juga terlarang ?
Jawaban:
  1. Do’a tersebut bukan berasal dari Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, melainkan dari Ahlul ‘Ibadah, orang yang shoolih, para ‘ulama yang mendalami demikian agungnya bulan Rojab, Sya’ban dan Romadhoon, maka mereka pun berdo’a. Seperti kita dengar bahwa mereka itu berdo’a enam bulan sebelum dan sesudah Romadhoon, seperti do’a tersebut. Boleh kita pakai karena itu adalah do’a orang-orang yang shoolih.
  1. Seperti disebutkan diatas bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagaimana dikatakan oleh riwayat dari ‘Aaisyah رضي الله عنها, yang tahu benar peri kehidupan Rosuul bahwa Rosuul terbanyak melakukan shaum adalah pada bulan Sya’ban, semua hari untuk shaum, kecuali beberapa hari. Bagi mereka yang sudah terbiasa beribadah pada bulan-bulan yang lain, ketika memasuki bulan Sya’ban tidak usah meninggalkan ibadah-ibadah itu, teruskan saja, bahkan sampai sehari dua hari sebelum Romadhoon ia tetap melakukan sebagaimana biasanya ia lakukan di selain bulan Sya’ban.
Kecuali bagi mereka yang tidak biasa melakukan ibadah-ibadah itu, lalu ketika mendekati bulan Romadhoon lalu melakukannya, maka yang demikian itu tidak boleh. Karena ada sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan engkau dahului Romadhon dengan shaum sehari atau dua hari”. (HR. Imam Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Pertanyaan:
  1. Di Indonesia sering diadakan perayaan Isro’ Mi’roj dan perayaan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم,  diselenggarakan oleh masyarakat dan juga oleh Negara, bahkan ada sambutan Presiden dan sebagainya. Dan yang demikian itu sudah berlangsung setiap tahun sejak zaman dahulu. Bolehkah melakukan perayaan hari-hari tersebut ?
  2. Majlis ‘Ulama mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah haram. Apakah dasar hukum bahwa merokok itu haram?
Jawaban:
  1. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Bahwa para ‘ulama adalah pewaris Nabi dan Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa telah mengambil ilmu itu, maka ia telah mengambil bagian warisan itu yang terbesar” (HR. Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, dan Imam Ibnu Maajah dari Abu Dzar al Ghifary رضي الله عنه).
Yang namanya warisan tersebut bukan dari siapa-siapa melainkan dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan tidak ada selebihnya dari itu. Kalau ada selebihnya, maka itu bukan warisan Rosuul. Oleh karena itu, maka ‘ulama termasuk mubaligh hanya sebagai penyampai dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kepada umatnya. Meskipun ada dasar hukum, yaitu Al Qur’an, SunnahIjma’ danQiyas. Tetapi dalam perkara yang tidak boleh ada Qiyas, maka Qiyas tidak boleh dipergunakan.
Apalagi tentang perayaan Isro’ Miroj, perayaan Maulid Nabi dan Nisfu Sya’ban, semua para ‘Ulama dan para Imam yang demikian berat timbangannya dibanding ulama zaman sekarang, mereka para ‘Ulama dan para Imam dari berbagai abad dahulu mengatakan bahwa Perayaan Isro’ Mi’roj, Maulid Nabi dan Nisfu Sya’aban adalah sesuatu yang baru, Bid’ah dan Munkar.  Oleh karena itu hendaknya kita mematuhi dan taat kepada perkara-perkara yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah dan yang tidak ada dalam keduanya itu tidak kita ikuti. Maka perayaan baik di istana maupun di masjid Istiqlal sampai di RT-RT, selain dasarnya tidak ada dan tidak benar, merupakan pendidikan buruk bagi generasi dan bangsa, memungkinkan banyak kemungkaran dan kefasikan di dalamnya. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk itu sia-sia belaka, tidak ada hasilnya.
  1. Tentang merokok yang diharamkan oleh Majlis Ulama, sebelum itu diberlakukan di Indonesia, haroom merokok sudah diberlakukan di banyak negara baik negara Islam maupun bukan negara Islam, bahkan di negara-negara orang kafir saja merokok itu sudah dilarang. Dan orang kafir juga sudah tidak mau merokok, mereka menolaknya. Apalagi dari sisi dalil maslahat dan mudhorot, maka sudah dipastikan bahwa merokok adalah haroom, tidak perlu diperdebatkan lagi.
Harus diingat, bahwa kaidah dalam Syari’at Islam adalah bahwa sesuatu apa saja yang baik pasti dianjurkan oleh Allooh سبحانه وتعالى. Dan sesuatu yang mengandung unsur buruk, maka oleh Syar’i pasti dilarang dan dicegah.  Demikian itu para ‘ulama menggariskan dalam kaidah-kaidah fiqihnya dan itu tentu berdasarkan pada dalil. Para petani tembakau bisa diajari untuk beralih kepada tanaman yang lain, ajarilah bangsa ini dengan perkara yang baik dan maslahat. Jangan dibiarkan mereka hidup dari sesuatu yang haroom. Karena daging yang tumbuh dengan yang haroom tidak barokah. Allooh سبحانه وتعالى akan bakar dengan api neraka.
Pertanyaan:
Ketika kita sudah melaksanakan sholat Tarawih, apakah masih juga sholat Tahajud?
Jawaban :
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika Romadhoon atau di luar Romadhoon, sholat malam (Qiyamul Lail) tidak pernah lebih dari sebelas roka’at.
Berarti sudah tidak ada lagi sholat yang lain, termasuk tidak lagi ada Tahajud.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan ajaran yang isinya menguraikan Sifat 20 (Duapuluh) dari Allooh سبحانه وتعالى?
Jawaban:
Tentang ajaran Sifat 20, menetapkan angka 20 sifat pada Allooh سبحانه وتعالى tidak ada dalilnya. Bahkan bisa dipastikan menyematkan “Wujud, Qidam, Baqa’ dstnya” adalah karangan, bukan dari dalil. Dari sifat 20 itu yang sesuai dengan dalil adalah 7(tujuh), yaitu: Qudrat, Iroodat, ‘Ilmu, Hayaat, Sama’, Bashor dan Kalaam. Itu pun dalam pemahaman yang masih juga keliru.
Oleh karena itu yakinilah bahwa Nama dan Sifat Allooh سبحانه وتعالى tidak 20 (duapuluh) tetapi banyak sekali. Apalagi menetapkan Sifat 20 Wajib, yang 20 Mustahil dan 1 (satu) Jaiz, 4 (empat) sifat wajib bagi Rosuul dan 4 (empat) mustahil dan 1 (satu) Jaiz, semuanya ada 50 (limapuluh),  menetapkan angka-angka demikian itu harus ada dalilnya yang jelas dari Allooh سبحانه وتعالى. Kalau tidak ada, janganlah lalu manusia menetapkan sendiri. Intinya: Semuanya itu tidak ada dalilnya, semua itu ajaran dari Filsafat.
Pertanyaan:
  1. Apakah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mencontohkan Sholat Tasbih ?
  2. Apakah ada ketentuan batasan waktu untuk sholat Tarawih ?
Jawaban:
  1. Sholat Tasbih sebagaimana yang ditarjih-kan oleh para ulama adalah tidak berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu kita tidak perlu tergiur untuk melakukannya.
  2. Tentang waktu sholat malam Tarawih atau Tahajud dimulai sejak Ba’da Isya’ hingga sebelum fajar (shubuh). Tetapi bila ingin afdhol adalah ketika sepertiga malam yang terakhir.
Demikianlah bahasan kali ini mudah-mudahan bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 16 Sya’ban 1429 H – 18 Agustus 2008

1 komentar:

ARTIKEL ANDA BAGUS. ANA IKUT MEMPUBLIKASIKANYA. SEMOGA MENJADI ILMU YANG MANFAAT

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More