Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang akan diangkat pada tulisan ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin)
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, disahihkan Al Albani)
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
* Membela para sahabat Nabi -radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.” (HR. Muslim)
* Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen), “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)” (Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul)
Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan kecerahan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya, “Semoga Allah memberikan kenikmatan dan kecerahan wajah pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Bukhari)
Bid’ah Bukan Bukti Cinta
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta (Lihat tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal). Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam ajarannya Lihat (Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu).
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa)
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “ (Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana di antara lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi)
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin menaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan: Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31) (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah).
Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah. Wallahu waliyyut taufiq. [Muhammad Abduh Tuasikal*]
*Penulis adalah alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta dan aktif menulis di website dakwah, sekarang sedang menempuh program S2 Magister Teknik Kimia di King Saud University. Di samping itu, beliau juga aktif menghadiri majelis ilmu Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
16/02/11
Cinta Rasulullah Bukan Dengan Cara Bid'ah
Tags:
0 komentar:
Posting Komentar