counters

25/12/10

Pengangkatan Khalifah - Dialog dengan HT

Oleh:abu Jauzza(Ciomas Permai-Bogor)

Telah sampai kepada saya satu makalah yang berjudul : Asas-Asas Syari’ah Sistem Khilafah Islamiyyah. Makalah ini sebenarnya merupakan terjemahan dari satu kutaib yang berjudul Al-Usus Asy-Syar’iyyah li-Nidhaam Al-Khilafah Al-Islamiyyah terbitan Majalah Al-Wa’ie (Beirut), Cet. II, Syawwal 1415 H, Maret 1995 M; yang kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Shiddiq Al-Jawi.

Ada satu hal – diantara beberapa hal – yang menarik bagi saya dari isi makalah tersebut, khususnya tentang sebuah pernyataan bahwa seseorang tidak akan menjadi khalifah kecuali bila diangkat (dibaiat) oleh kaum muslimin. Kongkritnya, begini yang tertulis pada halaman 18 – 20 :

KEKUASAAN DI TANGAN UMAT ISLAM

KAUM MUSLIMIN SELURUHNYA MENGEMBAN TANGGUNG JAWAB MENJAGA DAN MENERAPKAN ISLAM

Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin

…… (menyebutkan 3 buah hadits dalam Shahih Muslim tentang ketaatan pada imam dan baiat terhadap imam yang pertama)…..

Ijma’ Shahabat telah terwujud dalam hal bahwa seseorang tidak akan dapat memegang kekuasaan Khilafah kecuali bila diangkat (dibaiat) oleh kaum muslimin untuk memegang kekuasaan Khilafah tersebut. Setiap khalifah dari Al Khulafa’ Ar Rasyidin mendapat kekuasaan (sebagai khalifah) dengan jalan baiat. Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap ‘Umar bin Khaththab terjadi berdasarkan tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat kepada Abu Bakar. Setelah istikhlaf, kaum muslimin tetap membaiat Umar bin Khaththab

…..(menyebutkan 2 perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu dari referensi Syi’ah Rafidlah, yaitu kitab Nahjul-Balaghah dan penjelasan ‘Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqhu ‘alal-Madzaahibil-Arba’ah)…..

Perhatian :

Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar terjadi atas dasar tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat yang merupakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Demikian pula istikhlaf yang dilakukan oleh Umar kepada enam orang, juga berdasarkan tafwidh dari para shahabat. Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wa ‘Aqdi.

Begitulah yang tertulis dalam makalah tersebut.

Ada hal yang “mengganjal” ketika membaca tulisan di atas. Penulis makalah sepertinya hendak mengatakan bahwa khalifah itu hanya sah melalui jalan pengangkatan dan baiat yang dilakukan oleh kaum muslimin melalui Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Mafhum-nya, jika ada seseorang yang menjadi khalifah tanpa melalui pengangkatan dan baiat dari Ahlul-Halli wal-‘Aqdi, maka kekhalifahannya tersebut tidak sah. Proses istikhlaf yang terjadi pada Abu Bakar kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhuma pun juga disimpulkan melalui proses tersebut.

Hal itu tercermin dari kalimat Penulis :

“Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin”.

dan :

“Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wa ‘Aqdi”.

Kata “kecuali” dan “hanya” dalam dua kalimat di atas mempunyai makna pembatas (hasr). Juga, bisa bermakna sebagai syarat. Jika maksud dua kata tersebut sebagai syarat, bila gugur sesuatu yang dipersyaratkan maka yang disyarati itu pun otomatis tidak ada atau tidak sah. Seperti misal : Wudlu adalah syarat sahnya shalat. Jika seseorang shalat tanpa berwudlu, maka shalatnya itu tidak sah lagi tidak diterima.

Maka di sini saya akan memberikan sedikit catatan dan perincian ringkas mengenai hal di atas. Para ulama/fuqahaa’ telah menjelaskan bahwa sahnya jabatan imamah (kepemimpinan) dalam syari’at Islam itu melalui 4 (empat) jalan, yaitu : adanya penegasan dari nash (hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam), baiat (dari ahlul-halli wal-’aqdi), penunjukkan pengganti (istikhlaf) dari khalifah sebelumnya, dan penaklukan/pemaksaan.[1] Penjelasannya adalah sebagai berikut :

1.

Adanya penegasan dari nash.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Abu Bakr radliyallaahu ’anhu diangkat sebagai khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan nash khafiy dan berdasarkan nash jaliy. Di antara mereka yang berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah Al-Hasan Al-Bashriy [2], satu riwayat dari Imam Ahmad [3], dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya. Adapun yang berpendapat berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu Hazm Adh-Dhaahiriy [4], Ibnu Hajar Al-Haitamiy [5], dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.

2.

Pemilihan dan baiat dari ahlul-halli wal-’aqdi.

Ini merupakan proses yang berlaku secara umum dalam daulah Islamiyyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu didasarkan pada kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka. Dalam hal ini, ketidaksepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah dianggap (yaitu misalnya ketidaksepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu ’anhu).

Berkata Al-Mawardi :

فَإِذَا اجْتَمَعَ أَهْلُ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ لِلِاخْتِيَارِ تَصَفَّحُوا أَحْوَالَ أَهْلِ الْإِمَامَةِ الْمَوْجُودَةِ فِيهِمْ شُرُوطُهَا فَقَدَّمُوا لِلْبَيْعَةِ مِنْهُمْ أَكْثَرَهُمْ فَضْلًا وَأَكْمَلَهُمْ شُرُوطًا وَمَنْ يُسْرِعُ النَّاسُ إلَى طَاعَتِهِ وَلَا يَتَوَقَّفُونَ عَنْ بَيْعَتِهِ

”Apabila ahlul-halli wal-’aqdi berkumpul untuk memilih seorang pemimpin, maka mereka segera mempelajari siapa saja individu yang memenuhi syarat untuk memangku jabatan. Mereka mendahulukan untuk membaiat di antara mereka yang mempunyai keutamaan, paling memenuhi syarat, serta orang yang mempunyai kedudukan di kalangan manusia dalam hal ketaatan kepadanya dan tidak menahan baiat kepadanya”.[6]

Al-Baghdadiy berkata :

قال الجمهور الأعظم من أصحابنا (أي أهل السنة) ومن المعتزلة والخوارج والنجارية : إن طريق ثبوتها (أي الامامة) الاختيار من الأمة

”Telah berkata kebanyakan shahabat kami (yaitu Ahlus-Sunnah), dan juga dari kalangan Mu’tazillah, Khawarij, serta An-Nijariyyah : Bahwasannya jalan yang tetap dalam hal imamah adalah dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh umat”.[7]
3.

Penunjukan yang dilakukan oleh khalifah sebelumnya.

Cara seperti ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari beberapa orang shahabat tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya ’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair, dan yang lainnya), maka beliau memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis wasiat penunjukkan ’Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi khalifah.[8]

Al-Mawardi berkata :

وَأَمَّا انْعِقَادُ الْإِمَامَةِ بِعَهْدِ مَنْ قَبْلَهُ فَهُوَ مِمَّا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى جَوَازِهِ وَوَقَعَ الِاتِّفَاقُ عَلَى صِحَّتِهِ لِأَمْرَيْنِ عَمِلَ الْمُسْلِمُونَ بِهِمَا وَلَمْ يَتَنَاكَرُوهُمَا أَحَدُهُمَا : أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَثْبَتَ الْمُسْلِمُونَ إمَامَتَهُ بِعَهْدِهِ . وَالثَّانِي : أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى أَهْلِ الشُّورَى فَقَبِلَتْ الْجَمَاعَةُ دُخُولَهُمْ فِيهَا وَهُمْ أَعْيَانُ الْعَصْرِ اعْتِقَادًا لِصِحَّةِ الْعَهْدِ بِهَا وَخَرَجَ بَاقِي الصَّحَابَةِ مِنْهَا

”Adapun pengangkatan khalifah/imam berdasarkan penunjukan oleh imam sebelumnya, maka ini diperbolehkan menurut ijma’. Telah terjadi kesepakatan akan benarnya metode ini berdasarkan dua peristiwa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin tanpa adanya pengingkaran. Pertama, bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ’anhu telah menyerahkan mandat imamah kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu dan kaum muslimin telah menetapkan (sahnya) keimamahannya dengan penyerahan mandat tersebut. Kedua, bahwasannya ’Umar radliyallaahu ’anhu menunjukkan dengannya kepada ahlusy-syuuraa [9] yang dengan masyarakat menerima masuknya keenam orang tersebut di dalamnya. Ahlusy-Syuuraa tersebut adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan di masanya. Hal ini menunjukkan kebenaran metodologi tersebut. Sementara itu, para shahabat lain berada di luar ahlusy-syuuraa”.[10]

Ijma’/kesepakatan tentang keabsahan penunjukkan metodologi ini juga dikatakan oleh An-Nawawiy [11], Ibnu Hazm [12], dan yang lainnya.

Namun di sini para ulama berselisih pendapat apakah baiat yang diberikan oleh Khalifah sebelumnya itu bisa dibenarkan tanpa adanya keridlaan dari kaum muslimin/ahlul-halli wal-‘aqdi ? Ada dua pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berpendapat bahwasannya dipersyaratkan adanya keridlaan dari kaum muslimin atas baiat tersebut. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukan menjadi persyaratan berdasarkan dhahir penunjukkan Abu Bakr terhadap ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhuma.

Al-Mawardi merajihkan pendapat yang terakhir dengan mengatakan :

لَكِنْ اخْتَلَفُوا هَلْ يَكُونُ ظُهُورُ الرِّضَا مِنْهُمْ شَرْطًا فِي انْعِقَادِ بَيْعَتِهِ أَوْ لَا ؟ فَذَهَبَ بَعْضُ عُلَمَاءِ أَهْلِ الْبَصْرَةِ إلَى أَنَّ رِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ لِبَيْعَتِهِ شَرْطٌ فِي لُزُومِهَا لِلْأُمَّةِ ؛ لِأَنَّهَا حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِهِمْ فَلَمْ تَلْزَمْهُمْ إلَّا بِرِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ مِنْهُمْ . وَالصَّحِيحُ أَنَّ بَيْعَتَهُ مُنْعَقِدَةٌ وَأَنَّ الرِّضَا بِهَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ ؛ لِأَنَّ بَيْعَةَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ تَتَوَقَّفْ عَلَى رِضَا الصَّحَابَةِ ؛ وَلِأَنَّ الْإِمَامَ أَحَقُّ بِهَا فَكَانَ اخْتِيَارُهُ فِيهَا أَمْضَى ، وَقَوْلُهُ فِيهَا أَنْفَذَ

”Akan tetapi mereka berselisih pendapat apakah keridlaan mereka (ahlul-halli wal-’aqdi) merupakan syarat dalam pengangkatan dalam baiatnya (yang dilakukan oleh khalifah sebelumnya) atau tidak ? Sebagian ulama Bashrah berpendapat bahwasannya keridlaan dewan pemilih (ahlul-halli wal-’aqdi) terhadap baiat tersebut merupakan syarat dalam keabsahannya bagi umat. Karena, imamah itu merupakan kebenaran yang berhubungan dengan mereka. Maka imamah itu tidak mengikat mereka kecuali dengan keridlaan dewan pemilih dari kalangan mereka. Namun yang benar adalah bahwasannya baiatnya itu terselenggara (sah) karena keridlaan mereka itu tidaklah dipertimbangkan. (Hal itu dikarenakan) baiat ’Umar radliyallaahu ’anhu tidak bergantung pada shahabat yang lain.[13] Juga, (hal itu disebabkan) imam itu lebih berhak atasnya (yaitu masalah imamah). Maka pilihannya itu lebih kuat, dan perkataannya mengenai masalah itu juga lebih layak untuk dilaksanakan”.[14]
4.

Penaklukan atau pemaksaan.

Yaitu, imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya, lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib untuk taat kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

Tidak dipungkiri bahwa apa yang dilakukan orang tersebut ketika bughat merebut kekuasaan merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at Islam, karena Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda :

مَنْ حَمَلَ عَلَينَا السِّلاحَ فَلَيسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata, maka dia bukan golongan kami” [HR. Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98].

Namun bila ini terjadi, maka sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib berbaiat untuk mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Harmalah, beliau berkata :

سمعت الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة

”Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata : ’Siapapun yang menang dalam merebut kekhalifahan (kekuasaan) dengan pedang, lalu disebut khalifah, dan manusia bersepakat (atas kepemimpinan)-nya, maka orang itu adalah khalifah (yang wajib untuk ditaati)”.[15]

Imam Ahmad berkata dalam masalah aqidah, yang perkataan beliau ini diriwayatkan oleh Abdus-Salam bin Malik Aththar :

ومن غلب عليهم يعني: الولاة – بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجراً

“…. Dan barangsiapa mengalahkan mereka – yaitu : pemimpin Negara (sebelumnya) - dengan pedang sampai menjadi khalifah dan digelari Amirul-Mukminin, maka bagi seorang yang masih beriman kepada Allah dan hari akhir tidak halal baginya untuk bermalam/beristirahat sedangkan ia masih beranggapan bahwa sesungguhnya tidak ada lagi imam (yang wajib dia baiat). Baik yang telah berkuasa tersebut seorang yang shalih ataupun jahat”.[16]

Ibnu Hajar berkata :

أجمع الفقهاء على وجوب طاعته السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير من الخروج عليه، لما في ذلك من حقن الدماء، وتسكين الدهماء،

“Para ahli fiqh telah bersepakat atas wajibnya mentaati penguasa yang menang (ketika merebut kekuasaan), dan wajibnya jihad bersamanya. Dan sesungguhnya mentaati penguasa yang menang itu lebih baik daripada memberontak kepadanya. Karena perbuatan ini akan mengakibatkan pertumpahan darah dan pengangkatan rakyat jelata (maksudnya : orang bodoh) menduduki jabatan”.[17]

Tentu saja dipahami dari hal ini tidak ada baiat pengangkatan oleh kaum muslimin/ahlul-halli wal-’aqdi. Yang ada adalah baiat ketaatan dari rakyat.

Oleh karena itu, perkataan :

“Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin”.

dan :

“Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wal-‘Aqdi”.

perlu tafshil (perincian). Memang benar, bahwa yang paling ideal adalah adanya pembaiatan dari kaum muslimin. Namun, syari’at dan juga kesepakatan ulama telah menetapkan bahwa pada keadaan-keadaan tertentu baiat ini bukan menjadi syarat sahnya kepemimpinan sebagaimana dituliskan di atas.

Semoga tulisan singkat di atas bermanfaat. Tentu saja, bagi mereka yang ingin menggali lebih dalam tentang permasalahan ini, dapat ditengok dalam kitab-kitab induk para ulama yang membahas tentang hukum ketatanegaraan Islam. Wallaahu a’lam bish-shawaaab.


Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai, Muharram 1430; 22:34 WIB.

Catatan kaki :

[1] Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, 6/673 dan Adlwaaul-Bayaan, oleh Al-’Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithiy, 1/72-73

[2] Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafiy, hal. 471.

[3] Al-Mu’taqad fii Ushuuliddin oleh Abu Ya’la Al-Farraa’, hal. 226.

[4] Al-Fashl fil-Milal wal-Ahwaa’ wan-Nihaal, 4/108.

[5] Ash-Shawaa’iqul-Muharriqah, hal 26.

[6] Al-Ahkaam As-Sulthaaniyyah hal. 7 dan Hujjatullaahil-Baalighah oleh Ad-Dahlawiy, 2/111.

[7] Ushuuludiin oleh Al-Baghdadiy, hal. 279.

[8] As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafaa’ membawakan riwayat dari wasiat Abu Bakr tersebut sebagai berikut :

اكتب بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما عهد أبو بكر بن أبي قحافة في آخر عهده بالدنيا خارجا منها وعند أول عهده بالاخرة داخلا فيها حيث يؤمن الكافر ويوقن الفاجر ويصدق الكاذب إني استخلفت عليكم بعدي عمر بن الخطاب فاسمعوا له وأطيعوا وإني لم آل الله ورسوله ودينه ونفسي وإياكم خيرا فإن عدل فلذلك ظني به وعلمي فيه وإن بدل فلكل امرىء ما اكتسب والخير أردت ولا أعلم الغيب وسيعلم الذين ظلموا أي منقلب ينقلبون والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

“Tulislah bismillaahi-rahmaanir-rahiim. Inilah apa yang diwasiatkan oleh Abu Bakr bin Abi Quhafah di akhir hidupnya di dunia saat akan keluar darinya, dan awal hidupnya di ambang akhirat. Dimana orang-orang kafir telah beriman, orang yang durhaka telah yakin, dan orang yang menyatakan dusta telah membenarkan (agama Islam). Sesungguhnya aku telah menetapkan ‘Umar sebagai khalifah atas kalian setelah aku meninggal. Maka dengar dan taatilah ia. Aku telah melakukan yang terbaik kepada Allah, Rasul, dan agama-Nya kepada kalian serta aku sendiri. Maka jika dia berlaku adil, itulah yang aku harapkan dan yang aku ketahui dari dirinya. Namun jika dia berubah, maka setiap orang akan menanggung apa yang dia lakukan. Sedangkan aku menginginkan hal yang baik, dan aku tidak mengetahui hal yang ghaib. Dan orang-orang yang telah melakukan kedhaliman akan tahu kemana mereka akan dikembalikan. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh [Tarikh Khulafaa’ oleh As-Suyuthi, Pasal : Saat Sakit Abu Bakr, Wafatnya, Wasiatnya, serta Penunjukan ‘Umar (Sebagai Pengganti Khalifah) – Free Program from http://www.islamspirit.com/].

[9] ‘Umar menunjukkan enam orang dari kalangan tokoh-tokoh shahabat yang utama (yaitu ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash) agar bermusyawarah untuk memilih siapa di antara mereka yang akan menjadi khalifah pengganti ’Umar.

[10] Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah, hal. 12.

[11] Shahih Muslim bi-Syarhin-Nawawiy, 15/205.

[12] Maraatibul-Ijmaa’, hal. 145.

[13] Riwayat yang dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafaa’ dari Al-Waqidi mengenai dipanggilnya beberapa orang shahabat untuk dimintai pendapat Abu Bakr mengenai diri ‘Umar tidak tercermin pensyaratan keridlaan tersebut. Sebab ketika mereka ditanya tentang diri ’Umar, maka ada diantara mereka ada yang mengisyaratkan ketidaksetujuannya. Namun Abu Bakr tetap mempunyai independensi dalam menentukan keputusannya dimana beliau berkata kepada mereka :

بالله تخوفني أقول اللهم إني استخلفت عليهم خير أهلك أبلغ عني ما قلت وراءك

“Demi Allah, apakah engkau menakut-nakutiku ? Aku akan katakan : ’Ya Allah, sesungguhnya aku memutuskan untuk menjadikan penggantiku bagi mereka adalah orang yang paling baik dari hamba-Mu’. Sampaikan perkataanku ini kepada orang-orang yang ada di belakangmu !!”.

Ini menunjukkan bahwa keridlaan mereka bukanlah menjadi syarat sahnya imamah ’Umar bin Al-Khaththab.

[14] Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah, hal. 12.

[15] Manaaqibusy-Syafi’iy, 1/448.

[16] Al-Ahkaamus-Sulthaniyyah oleh Abu Ya’la hal. 23. Lihat pula Ath-Thabaqat Al-Hanabillah oleh Ibnu Abi Ya’la 1/241-246

[17] Fathul-Baariy, 13/7
(Ciomas Permai-Bogor)
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/pengangkatan-khalifah-dialog-dengan-ht.html

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More