counters

27/07/11

do'a sebelum berbuka dan sesudah berbuka puasa

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat yang PALSU

Lafazh pertama:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:


عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]

Lafazh kedua:


اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”

Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
Dalil diatas semuanya DHO'IF dan PALSU...
DALIL YANG SHOHIH SILAHKAN DIBAWAH INI
1. untuk do'a sebelum makan buka puasa baca basmalah:
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
2. untuk do'a setelah berbuka :
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]
Sumber: rangkuman http://muslimah.or.id/ramadhan/doa-berbuka-puasa-yang-shahih.html

23/07/11

Kajian Islam Ramadhan 2011 di Bogor Bersama Ust Yazid bin Abdul Qodir Jawas

Hadirilah Kajian Islam selama Bulan Ramadhan 2011
di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor (KPP IPB Baranangsiang IV Blok A, Kel. Tanah Baru Bogor )
Insya Allah akan dilaksanakan setiap Ahad ba'da Ashar dan Iftor jama'i
dengan Jadwal sebagai Berikut:
Ahad, Tanggal 7 Agustus 2011 dan Ahad, 14 Agustus 2011.*

Insya Allah Kajian diisi dengan pembicara dari Dewan Penasehat MUI Kota Bogor Ust Yazid bin Abdul Qodir Jawas (Murid dari Syaikh Utsaimin).silahkan registrasi dulu bagi yang ingin ikut Kajian sebelum hari H. Masjid Imam Ahmad juga akan mengadakan acara I'ktikaf 10 hari akhir ramadhan (dan Pulang kerumah setelah shubuh hari raya Idul fitri) Silahkan registrasi juga.
Untuk registrasi Pendaftaran ke no HP 08128841115

* Untuk pendaftaran sebelum Hari H (klo bisa pendaftarannya 2 kali,misalnya:pekan pertama sebelum hari H dan daftar lagi pada pekan kedua sebelum hari H.

14/07/11

Imsak, Terus Makan Yuk..... Jangan Berhenti ya..Berhentinya waktu Adzan Shubuh

Imsak Sebelum Adzan Shubuh

Pada saat menelang shubuh di waktu sahur pada bulan Ramadhan, kita biasanya mendengar ada peringtan imsak yang didengungkan, baik lewat corong masjid-masjid, radio, maupun televisi. Kebiasaan tersebut sudah begitu membudaya di masyarakat kita. Bahkan seakan-akan sudah merupakan syari’at bahwa kita tidak boleh makan dan minum setelah peringatan imsak dikumandangkan. Namun betulkah hal itu?

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal itu, dibawah ini kami nukilkan beberapa fatwa para Ulama tentang Imsak. Apakah benar ia merupakan syariat dalam agama ini ataukah bukan. (Red)

FATWA SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL ALBANI TENTANG DIPERBOLEHKANNYA MAKAN DAN MINUM HINGGA ADZAN SHUBUH

“Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dan dishahihkan olehnya dan oleh Adz Dzahabi)

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud 1/549, Ibnu Jarir dalam At Tafsir 3/526/3015, Abu Muhammad Al Jauhari dalam Al Fawa’id Al Muntaqah 1/2, Hakim 1/426, Baihaqi 4/218, Ahmad 2/423 dan 510. Diriwayatkan dari beberapa jalan dari Hammad bin Salamah dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda … .” Kemudian ia (Abu Hurairah) menyebutkan hadits di atas.

Hakim berkata : “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim.” Pernyataan ini disepakati oleh Dzahabi. Padahal dalam hadits ini ada (sanad) yang perlu dikoreksi. Karena Muhammad bin ‘Amr hanya dipakai oleh Imam Muslim jika ia bersamaan dengan yang lain (dengan hadits shahih yang lain yang semakna, pent.) maka yang benar hadits ini HASAN.

Ya, memang Ibnu ‘Amr tidak bersendirian karena Hammad bin Salamah juga berkata: “Diriwayatkan dari Amar bin Abi Amar dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti itu, hanya ada tambahan: "Dan dulu muadzin mengumandangkan adzan jika telah terbit fajar." (Hadits riwayat Imam Ahmad 2/510, Ibnu Jarir, dan Al Baihaqi)

Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Isnad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim. Di samping itu hadits ini mempunyai syawahid (hadits-hadits lain yang memperkuat) yaitu:

(1) Hadits mursal yang diriwayatkan oleh Hammad juga tetapi dari jalan Yunus dari Hasan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kemudian menyebutkan hadits tersebut di atas. (Dikeluarkan oleh Ahmad 2/423 dengan disertai riwayat yang pertama)
(2) Hadits maushul yang diriwayatkan dari Al Husain bin Waqid dari Abu Umamah ia berkata: Pada waktu iqamat dikumandangkan, Umar masih memegang gelas. Ia (Umar) bertanya : “Apakah saya masih boleh minum, ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Ya (boleh).” Kemudian Umar minum. (Hadits riwayat Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan dua sanad darinya). Isnad hadits ini hasan.
(3) Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dari Abu Zubair ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum kemudian mendengar adzan. Jabir menjawab : Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau bersabda : “Hendaklah ia minum.” (Dikeluarkan oleh Ahmad 3/348, beliau berkata : Telah meriwayatkan pada kami Musa, ia berkata : Telah meriwayatkan pada kami Ibnu Lahi’ah).
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: Isnad ini tidak mengapa (dapat dipakai) jika untuk penguat (menguatkan hadits yang lain, pent.). Al Walid bin Muslim juga meriwayatkannya dari Ibnu Lahi’ah. (Dikeluarkan oleh Abu Al Husain Al Kilabi dalam Nuskhah Abu Al Abas Thahir bin Muhammad).
Perawi-perawinya tsiqat (terpercaya), perawi-perawi Imam Muslim kecuali Ibnu Lahi’ah karena jelek hapalannya. Al Haitsami berkata dalam Al Majma’ (3/153) : “Diriwayatkan oleh Ahmad dan isnadnya hasan.”
(4) Hadits yang dikeluarkan oleh Ishaq dari Abdullah bin Mu’aqal dari Bilal, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk adzan shalat shubuh padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau meminta gelas untuk minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir 3018 dan 3019, Ahmad 6/12, dan perawi-perawinya tsiqat, perawi-perawi Bukhari Muslim). Seandainya tidak ada Ibnu Lahi’ah yaitu As Syabi’i [dia bercampur hapalannya serta suka melakukan tadlis] akan tetapi hadits ini menjadi kuat dengan adanya riwayat Ja’far bin Barqan dari Syadad budak ‘Ayadh bin ‘Amir dari Bilal, haditsnya sama dengan yang di atas. (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 6/13)
(5) Muthi’ bin Rasyid meriwayatkan : Telah menceritakan pada kami Taubah Al ‘Ambari bahwa dia mendengar Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): Lihatlah siapa yang berada di masjid, panggilah dia! Kemudian aku masuk masjid, disana aku dapati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku memanggil mereka lalu aku bawakan suatu makanan dan aku letakkan di depan beliau. Kemudian beliau makan bersama mereka, setelah itu mereka keluar. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat bersama mereka, shalat shubuh. (Dikeluarkan oleh Al Bazzar nomor 993 dalam Kasyful Astar dan ia berkata : “Kami tidak mengetahui Taubah menyandarkan kepada Anas kecuali hadits ini dan satu hadits yang lain dan tidak meriwayatkan dua hadits itu darinya (Anas) kecuali Muthi’)

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Az Zawaid halaman 106 : “Isnad hadits ini hasan.”
Aku (Syaikh Al Albani) berkata : Imam Al Haitsami berkata seperti itu juga (seperti perkataan Al Hafidh Ibnu Hajar, pent.) dalam Al Majma’ 3/152.
(6) Qais bin Rabi’ meriwayatkan dari Zuhair bin Abi Tsabit Al A’ma dari Tamim bin ‘Ayyadl dari Ibnu Umar ia berkata : “‘Alqamah bin Alatsah pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tunggu sebentar wahai Bilal! ‘Alqamah sedang makan sahur.” (Dikeluarkan oleh At Thayalisi nomor 885 dan At Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma’ 3/153 dan ia berkata : “Qais bin Rabi’ dianggap tsiqah oleh Syu’bah dan Sufyan Ats Tsauri padahal padanya (Qais) ada pembicaraan (masih diragukan tentang dia)).
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: Haditsnya (Qais) hasan jika ada syawahid-nya karena ia (Qais) sendiri shaduq (jujur) hanya yang dikhawatirkan adalah jeleknya hapalan dia maka apabila ia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan perawi-perawi tsiqat lainnya, haditsnya dapat dipakai.

Adapun dalil-dalil dari atsar (perbuatan shahabat, pent.) yang membahas tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Syuhaib bin Gharqadah Al Bariqi dari Hibban bin Harits ia berkata : “Kami pernah makan sahur bersama Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu maka tatkala kami telah selesai makan sahur, ia (Ali) menyuruh muadzin untuk iqamat.” (Dikeluarkan oleh At Thahawi dalam Syarah Al Ma’ani 1/106 dan Al Mulhis dalam Al Fawaid Al Munthaqah 8/11/1)

Perawi-perawinya tsiqat kecuali Hibban, Ibnu Abi Hatim 1/2/269 membawakan riwayat ini dan ia tidak menyebutkan jarh dan ta’dil-nya sedangkan Ibnu Hibban menulisnya dalam Ats Tsiqat.

Diterjemahkan dari Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah hadits nomor 1394,
Syaikh Nashiruddin Al Albani
BANTAHAN SYAIH AL ALBANI TERHADAP PENDAPAT SAYYID SABIQ

Sayyid Sabiq mengatakan: ” … Maka apabila telah terbit fajar sedangkan di mulutnya masih ada sesuatu makanan, wajib baginya untuk membuangnya (memuntahkannya).”

Bantahan Syaikh Al Albani:
Aku (Syaikh Al Albani) berkata: Perkataan ini merupakan taqlid (pada) kitab-kitab fiqih. Padahal pendapat tersebut tidak didasari oleh satu dalil pun dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bahkan yang benar pendapat tersebut menyelisihi sabda beliau (yang artinya): “Apabila salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan tempat makan (piring) masih berada di tangannya, janganlah dia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Hakim, dan dishahihkan olehnya dan oleh Adz Dzahabi).

Dikeluarkan juga oleh Ibnu Hazm dengan tambahan : Amar (Ibnu Abi Amar) berkata : “Mereka dahulu mengumandangkan adzan tatkala terbit fajar.”

Ahmad (Ibnu Salamah) berkata dari Hisyam bin ‘Urwah: “Bapakku pernah memberikan fatwa dengan berdasar ini.” (Dan isnadnya shahih)

Di samping itu, hadits tersebut mempunyai syawahid yang aku sebutkan dalam Kitab At ta’liqat Al Jiyad. Juga dalam Kitab As Shahihah nomor 1394 (yaitu hadits di atas).

Hadits ini sebagai dalil bahwa jika seseorang mendapati fajar mulai terbit (masuk waktu shubuh, pent.) sedangkan tempat makan atau minum masih berada di tangannya maka masih diperbolehkan baginya untuk tidak meletakkannya sampai memenuhi hajatnya (makannya).

Keadaan seperti ini termasuk hal yang dikecualikan oleh firman Allah (yang artinya): “Dan makan dan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah : 187)

Kesimpulannya, tidak ada pertentangan antara ayat ini dan hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas dan tidak juga dengan ijma’. Bahkan sebagian dari shahabat Ridwanullahi ‘Alaihim Ajmain dan selain mereka berpendapat tentang terpakainya hadits itu menerangkan bolehnya sahur sampai fajar nampak jelas. (Lihat Al Fath 3/109-110)

Termasuk pula faedah dari hadits ini adalah menerangkan bid’ahnya IMSAK yang dikatakan sekitar seperempat jam sebelum shubuh (fajar). Hal ini mereka lakukan tak lain hanya karena takut mendapati adzan shubuh sedangkan mereka masih makan sahur. Tetapi seandainya mereka mengetahui rukhshah (keringanan diperbolehkannya makan untuk menyelesaikan sahur walaupun terdengar adzan, pent.) niscaya mereka tidak terjerumus ke dalam bid’ah ini.

Dinukil oleh Muhammad Dahri Qamaruddin
dari Kitab Tamaamul Minnah Fi At Ta’liqi An Fiqhi Sunnah
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahullah
PENJELASAN SYAIKH ABDULLAH BIN ABDURRAHMAN BIN SHALIH AL BASSAM
(Anggota Majelis Kibarul Ulama Arab Saudi)

Hadits Nomor 177 Tentang Imsak:
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallahu ‘anhu, dia (Zaid) berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian beliau bangkit untuk shalat (shubuh).” Anas berkata: Aku bertanya kepada Zaid: “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Ia menjawab: “Kurang lebih sekitar (bacaan) lima puluh ayat.” (Hadits Riwayat Bukhari 1801 dan Muslim 1097)

Gharibul Hadits:
“Adzan” dalam hadits ini yang dimaksud adalah iqamat. Hal itu dijelaskan oleh hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas dari Zaid, ia berkata : “Kami pernah sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian kami bangkit untuk shalat.” Aku (Anas) bertanya : “Berapa lama antara keduanya (antara sahur dan shalat, pent)?” Ia (Zaid) menjawab : “Kurang lebih sekitar (bacaan) lima puluh ayat.”

Penjelasan Hadits
Hadits ini menjelaskan bahwa Anas bin Malik meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwa ia (Zaid) pernah makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan termasuk kebiasaan (sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah beliau makan sahur menjelang shubuh.

Oleh karena itulah setelah selesai makan sahur (tidak lama kemudian) beliau bangkit untuk shalat shubuh. Kemudian Anas bertanya kepada Zaid : “Berapa lama jarak antara iqamat dan sahur?” Ia (Zaid) menjawab : “Sekitar (bacaan) lima puluh ayat.”

Kandungan Hadits

1. Keutamaan mengakhirkan sahur hingga menjelang subuh
2. Bersegera melaksanakan shalat shubuh itu dekat waktunya dengan waktu imsak.
3. Waktu imsak adalah terbit fajar (masuk waktu shubuh, pent.)

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah : 187)

Dengan penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan kaum Muslimin dengan membuat dua waktu : Imsak dan terbit fajar (shubuh) adalah bid’ah yang tidak ada dalilnya. Yang sunnah adalah pada permulaan terbit fajar (shubuh).

Taisir Syarh Umdatul Ahkam halaman 414-415

FATWA SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN: IMSAK TERMASUK BID’AH
Pertanyaan:
Kami melihat di sebagian kalender bulan Ramadhan terdapat bagian yang dinamakan Imsak, yaitu terjadi kira-kira 10 menit / seperempat jam sebelum masuk waktu shalat Fajar (Subuh). Apakah perkara ini ada dasarnya dari sunnah ataukah termasuk bid’ah? Berilah kami fatwa, semoga anda senantiasa mendapat pahala.
Jawaban:
Yang benar (dan tidak ragu lagi) bahwa IMSAK seperti ini termasuk BID’AH yang tidak ada dasarnya bahkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyelisihinya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah : 187)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (yang artinya): “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam maka makan dan minumlah kamu hingga mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum karena ia (Ibnu Ummi Maktum) tidak mengumandangkan adzan sampai terbit fajar.” (Hadits riwayat Bukhari 1799 dan Muslim 1092)

Imsak yang dibuat oleh sebagian orang merupakan tambahan atas apa yang diajarkan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hal itu termasuk perkara yang batil dan termasuk tanaththu’ (berlebih-lebihan) dalam beragama.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya): “Telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan, telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan, telah binasa orang dahulu yang berlebih-lebihan.” (Hadits riwayat Muslim, Kitabul Ilmi 2670)

Dinukil dari Kitab Alfadz wa Mafahimu fi Mizanisy Syari’ah
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

08/07/11

Toolbar Mozila Firefox Islami (As Sunnah)



Assalamu'alaikum
Ikhwan dan Akhwat Fillah,dengan kemajuan teknologi khususunya di Komputer, maka saat ini banyak para pakar IT untuk membuat sebuah program untuk pc(komputer) islami, banyak sekali software islami yang bermanfaat untuk menghidupkan nuansa islami melaui komputer, dinataranya software Murotal Qur'an,Hadist,Jadwal Sholat,penghitungan zakat,kitab-kitab islam,Kamus Bahasa Arab,dll.. saat ini juga Mozila Firefox sudah ada toolbar As-Sunnah.toolbar As-Sunnah ini berisi :
1. Search Situs (Indonesia,Arab,Melayu,situs ulama,belanja online)
2. Radio-Radio Streaming Islami
3. TV streaming Islami
4. RSS Website Islami
5. Links-Links Islami (Buku,Majalah,Ustdaz,Muslimah,Radio,TV)
6. Facebook
7. Twiter Radio Islami
8. Jadwal Sholat
9. Tanggal Hijriyah
10. Bentuk Bulan saat ini
11. Peta
12. Arabic Virtual Keyboard
13. Penterjemah bahasa
14. Currency Converter Mata uang
15. Gadget (Calorie Calculator,Dictionary,Calculator,Todo,Unit Converter,ShowMy IP,Babylon,Notes,Wikepedia Search,More Gadget)
16. Weather.
silahkan yang mau download disini
Toolbar Islami

06/07/11

Menentukan 1 Ramadhan 1432 H



Saat ini banyak sekali ormas islam dan ummat islam yang berbeda dalam melaksanakan Puasa Ramadahan, banyak berbagai kaum muslimin menggunakan berbagai macam ada yang menggunakan Hilal, Hisab, dan banyak sekali tariqat-tariqat yang sesat berpuasa berbeda-beda. untuk mengetahui bagaimana menentukan 1 Ramadhan yang sesuai dengan contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat mari kita lihat dibawah ini.
Menentukan 1 Ramadhan 1432 H
Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:

1. Melihat hilal ramadhan.
2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Melihat Hilal Ramadhan

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]

Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]

Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]

Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal

Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.

Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]

Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia

Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”

Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]

Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Imam Ahmad juga mengatakan,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]

Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?

Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?

Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]

Semoga sajian kali ini bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.

[2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.

[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)

[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)

[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.

[8] Fathul Bari, 4/127.

[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.

[10] Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.

[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115.

[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.

[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.

[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.

[16] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.
sumber:http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html
Akhi bisa baca juga disini tentang penentuan awal ramadhan Awal Puasa Ramadhan

04/07/11

Kajian Islam Bersama Syaikh Dr.Musa Alu Nashr 9-10 Juli 2011 Yogyakarta

HADIRILAH KAJIAN ILMIYAH

Bersama Fadhilatus-Syaik DR Musa Alu Nashr Hafidhohullah Ta’ala

Tanggal: Sabtu, 9 Juli 2011

Tempat: Jami’ Masjid Islamic Centre Bin Baz

Tema: Biografi Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Waktu: Ba’da Magrib

Tanggal : Ahad, 10 Juli 2011

Tempat: Masjid Kampus UGM

Judul: Wajibnya Taat Kepada Pemerintah Dalam Perkara Yang Ma’ruf

Waktu: 8.30 – Selesai

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More